Sumber gambar, Koalisi KOPI
Rudolfus Oktavianus Ruma, seorang aktivis lingkungan di Nusa Tenggara Timur, ditemukan meninggal dunia dengan leher terjerat di sebuah pondok bambu dekat Pantai Sikusama, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, pada 5 September lalu.
Keluarga meminta kepolisian mengusut tuntas dan transparan soal kematian Oktavianus yang akrab disapa Vian. Mereka menyebut kasus kematian Vian dipenuhi kejanggalan.
“Kami berharap ada transparansi [pengungkapan], agar kakak bisa pergi dengan tenang,” kata Jemi Piru, salah seorang adik Vian.
Efraim Mbomba Reda, kolega Vian dalam bidang advokasi lingkungan, meragukan pria 30 tahun tersebut menghabisi nyawanya sendiri.
Menurut Efraim, yang merupakan pegiat lingkungan Koalisi Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim (KOPI), Vian selama ini kerap membantu menyelesaikan persoalan banyak orang. Sehingga “kalau persoalan sendiri diselesaikan bunuh diri, kami meragukan itu.”
Hampir sepekan sejak jenazah Vian ditemukan, kepolisian belum memastikan penyebab kematiannya.
Apa yang diketahui sejauh ini dari kematian pria yang juga berprofesi sebagai guru matematika di sekolah menengah pertama tersebut?
Peringatan: Artikel ini memuat detail mengenai kematian yang mungkin dapat menganggu kenyamanan Anda
Kronologi penemuan jenazah
Vian ditemukan tak bernyawa dengan posisi leher terjerat tali sepatu, pada Jumat (05/09).
Dalam foto yang didapat BBC News Indonesia, jenazah Vian tampak sudah membengkak. Kakinya menyentuh lantai bambu, dengan lutut sedikit tertekuk.
Tak jauh dari jenazah ditemukan barang-barang miliknya, seperti tas, telepon genggam, dan helm berkelir hitam. Sepeda motornya terparkir di depan gubuk.
Jemi Piru, salah seorang adik Vian, mengatakan, lokasi penemuan jenazah adalah rute yang biasa ditempuh sang kakak dari tempat tinggalnya menuju sekolah.
“Itu jalur antara rumah dan sekolah. Ia tinggal di mes guru dan mengajar di SMPN 1 Nangaroro,” kata Jemi, seraya menambahkan bahwa Vian berstatus guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).
Sumber gambar, Koalisi Kopi
Sebelum didapati meninggal, Jemi menyebut Vian sempat meminta izin kepada sekolahnya pada 2 September untuk menghadiri Mbay Youth Day di Paroki Hati Kudus Yesus Maunori.
Acara yang berlangsung 3-7 September itu adalah pertemuan akbar Orang Muda Katolik (OMK) di Kevikepan Nagekeo, Keuskupan Agung Ende. Vian juga aktif terlibat dalam komunitas keagamaan ini.
Hanya saja setelah mendapat izin, keberadaan Vian justru tak diketahui rimbanya, sampai akhirnya didapati meninggal dunia pada 5 September.
“Orang-orang di sekolah berpikir beliau sudah gabung [acara OMK], tapi OMK justru berpikir beliau sibuk di sekolah,” kata Jemi yang merupakan adik kedua Vian.
Adik pertama Vian, Rikardus Mbusa, menambahkan bahwa jenazah sang kakak pertama kali ditemukan seorang sopir truk yang bermaksud singgah untuk makan tak jauh dari titik kejadian.
Sesaat turun dari kendaraan, sopir itu mencium bau busuk. Ia lantas menelusuri asal muasal bau tersebut dan mendapati Vian dalam kondisi meninggal.
Sopir tersebut mencari bantuan ke kampung terdekat, lalu warga menghubungi polisi.
Keluarga merasa kematian janggal — ‘Kami berharap ada transparansi’
Setelah penemuan jenazah pada 5 September, keluarga memakamkan Vian sehari berselang tanpa didahului autopsi di Desa Ngera, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo.
Belakangan, keluarga berencana membawa jenazah Vian demi kepentingan penyidikan kasus. Namun, Jemi tak memerinci kapan hal itu dilakukan.
Langkah ekshumasi dipilih keluarga karena kematian Vian dinilai memiliki sejumlah kejanggalan.
“Kita bisa melihat sendiri dari foto. [Penyebab kematian] masih menjadi misteri bagi keluarga,” kata Jemi lagi.
Rikardus Mbusa menambahkan, andaikata Vian benar-benar menghabisi nyawanya sendiri, jenazahnya akan ditemukan dalam kondisi menggantung.
Sementara saat ditemukan, kaki Vian diketahui menyentuh lantai dengan lutut sedikit tertekuk.
“Kakinya mestinya dalam posisi tergantung dan tidak menyentuh lantai [jika bunuh diri],” kata Rikardus.
Keduanya berharap kepolisian dapat mengungkap kematian Vian secara tuntas dan transparan, mengingat kepergiannya sangat memukul perasaan anggota keluarga.
“Sampai sekarang keluarga belum dapat info valid [penyebab kematian]. Kami berharap ada transparansi,” kata Jemi.
Rikardus menambahkan, keluarga tidak akan mempermasalahkan jika Vian benar-benar dinyatakan meninggal dunia karena bunuh diri.
Namun, ia memberi catatan, “Kami minta kronologi jelas sampai kakak kami meninggal.”
Sumber gambar, Koalisi Kopi
Vian merupakan anak pertama dari empat bersaudara.
Jemi menyebut sang kakak sebagai sosok kuat yang jarang menceritakan kegiatannya di luar rumah, selain aktivitas di OMK Stasi Ngera, Paroki Hati Kudus Yesus Maunori.
“Soal aktivisme [lingkungan], saya kurang tahu,” kata Jemi.
Adapun Rikardus menggambarkan sang kakak sebagai sosok yang selalu memberikan solusi kepada ketiga adik dan teman-temannya.
Vian dinilai bijak dalam mengatasi sesuatu dan rajin berdoa ke gereja. Dalam pergaulan, ia juga disebut dilingkupi imam dan orang-orang muda Katolik.
“Itu hal utama kenapa kami tidak terima sosok kakak kami sampai bunuh diri,” kata Rikardus.
‘Publik bisa mencari jalannya sendiri jika kematian seperti ini tidak diselesaikan’
Sumber gambar, Koalisi Kopi
Selain terlibat dalam OMK, Vian juga aktif sebagai pegiat lingkungan di Flores.
BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah pegiat lingkungan lain dan mereka menyuarakan hal sama: kematian Vian dianggap janggal.
Peneliti Koalisi Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim (KOPI), Efraim Mbomba Reda, tak yakin Vian meninggal akibat bunuh diri. Ia merujuk posisi kedua kaki yang menyentuh tanah saat ditemukan.
“Kami meragukan itu [bunuh diri]. Dalam foto yang beredar, kakinya sentuh [lantai] bambu,” ujar Efraim.
“Kami melihat sesuatu yang tidak wajar. Ada kejanggalan dalam kematian Vian.”
Pernyataan Koordinator Aliansi Terlibat Bersama Korban Geothermal Flores, Felix Baghi, senada. Dia menyebut “kematian Vian Ruma tidak wajar.”
Baik Efraim mapun Felix enggan berspekulasi perihal penyebab kematian Vian.
“Kami tidak mau menuduh,” ujar Efraim singkat.
Felix mendesak kepolisian menangani kasus ini secara serius dan membongkar penyebab kematian Vian secara tuntas dan transparan. Hal itu dibutuhkan “agar tidak menimbulkan asumsi yang keliru di ruang publik.”
Efraim menyuarakan desakan sama, meminta kepolisian bekerja cepat dan transparan mengusut penyebab kematian Vian.
“Publik bisa mencari jalannya sendiri jika kematian seperti ini tidak diselesaikan.”
Semasa hidup, Vian merupakan pegiat lingkungan yang aktif menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geotermal).
Felix mengatakan, Vian sempat hadir dalam pertemuan aliansi bersama JATAM di Mataloko beberapa waktu lalu.
Adapun Efraim menggambarkan Vian sebagai pegiat lingkungan yang tergolong vokal mendorong Koalisi KOPI untuk menyatakan sikap secara tegas menolak geotermal.
“Ia aktif dan sangat intens mendorong koalisi [KOPI] menyatakan sikap untuk menolak,” kata Efraim.
“Sehingga Koalisi KOPI kemudian menetapkan geotermal menjadi isu strategis dan akhirnya resmi menolak geotermal.”
Kapolres Nagekeo, AKBP Rachmad Muchamad Salihi, belum memastikan penyebab kematian Vian —termasuk potensi penyebab kematian lain.
“Kami belum bisa pastikan,” ujar Rachmad.
Pemerintah pusat menetapkan Flores sebagai ‘pulau panas bumi’ pada 2017, seiring penerbitan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bernomor 2268/K/30/MEM/2017.
Titik panas bumi tersebar di 16 titik di pulau seluas kurang lebih 14.000 kilometer persegi tersebut.
Keberadaan titik panas bumi di Flores itu disebabkan pulau Flores segaris dengan deretan gunung api. Total, terdapat 13 gunung api aktif yang menghampar dari ujung barat ke timur Pulau Flores.
Wartawan Eliazar Robert di Kupang berkontribusi dalam laporan ini.
Leave a Reply Cancel reply