Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar
Perhitungan garis kemiskinan versi Bank Dunia diprediksi meningkatkan angka kemiskinan Indonesia menjadi 194,6 juta jiwa, jauh di atas 24,06 juta jiwa merujuk data September 2024. Standar baru ini mengklasifikasikan jutaan orang ke kelompok miskin, yang tidak dikategorikan miskin jika menggunakan perhitungan pemerintah Indonesia.
Sejumlah pakar menyebut standar garis kemiskinan nasional yang dipakai pemerintah Indonesia saat ini “sangat tidak merefleksikan kenyataan” lantaran adanya pergeseran pola konsumsi dan makin beragamnya kebutuhan masyarakat.
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengategorikan orang miskin jika memiliki pengeluaran di bawah Rp595.242 per kapita per bulan atau sekitar Rp20.000 per hari.
Angka itu, menurut pakar, “sangat miris” sebab meskipun kelompok masyarakat itu masih bisa hidup tapi kemungkinan besar mengandalkan bantuan orang lain atau akhirnya terjerat utang.
“Kalau sekadar survive saja, orang Indonesia itu sangat mungkin bisa survive. Apalagi orang Indonesia tidak berekspektasi banyak terhadap negara, jadi mereka tidak akan mati meskipun dengan tingkat pengeluaran sedikit pun,” ujar ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana.
Salah satu warga kelas bawah di Kota Semarang, Jawa Tengah, Ahmad Marzuki, menyebut standar garis kemiskinan versi pemerintah tidak manusiawi.
Menurut Ahmad, uang Rp20.000 bakal habis untuk membeli satu kilogram beras. Tak ada sisa untuk belanja lauk, sayur, apalagi buah.
“Jika negara menyebut, orang yang mampu memenuhi kebutuhan harian di angka Rp20.000 sebagai orang mampu [tidak dikategorikan miskin] itu sebuah kejahatan,” ungkapnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/foc.
Perdebatan seputar standar garis kemiskinan nasional di Indonesia mengemuka setelah Bank Dunia mengeluarkan laporan soal “Poverty and Inequality Platform” edisi Juni 2025.
Di situ, Bank Dunia telah mengganti acuan garis kemiskinan global dari paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) 2017 ke PPP 2021. Akibat pembaruan tersebut, ambang batas garis kemiskinan meningkat di semua kategori negara.
Garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income) berubah dari yang sebelumnya US$3,65 menjadi US$4,20 per hari.
Begitu juga dengan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income) seperti Indonesia. Batasnya berubah dari US$6,85 menjadi US$8,40 per hari.
Nilai US$1 PPP setara dengan Rp5.993.
PPP adalah konsep dasar dengan membandingkan harga sekumpulan barang dan jasa yang sama di berbagai negara.
Harga ini kemudian dikonversi ke dalam mata uang yang sama, seperti dollar AS, untuk memudahkan perbandingan.
Kalau memakai standar garis kemiskinan Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia dengan pengeluaran di bawah Rp49.244 per hari mencapai 68,2% dari total populasi yang pada 2024 sebanyak 285,1 juta orang.
Itu artinya, 194,4 juta warga Indonesia masuk dalam kategori miskin.
Standar garis kemiskinan versi Bank Dunia itu berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada September 2024, BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 24,06 juta orang atau 8,57%.
Mengapa standar garis kemiskinan BPS dan Bank Dunia berbeda?
Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan Bank Dunia menghitung angka kemiskinan Indonesia berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah-atas, bukan berdasarkan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.
Untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, BPS memakai pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs yang terdiri dari dua komponen: makanan dan non-makanan.
Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, yang mencakup berbagai komoditas seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, termasuk rokok kretek filter.
Sedangkan komponen non-makanan terdiri dari kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
Penghitungan angka garis kemiskinan di tiap-tiap wilayah, kata BPS, baik provinsi maupun kabupaten/kota berbeda-beda.
Namun, standar garis kemiskinan nasional ditetapkan senilai Rp595.242 per kapita per bulan atau Rp20.000 per hari.
Jauhnya perbedaan standar garis kemiskinan antara Bank Dunia dan BPS ini memicu pertanyaan di antara warganet: manakah yang lebih realistis?
Mana yang lebih realistis, perhitungan Bank Dunia atau BPS?
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, mengatakan standar garis kemiskinan BPS memang jauh mencerminkan realitas saat ini, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada data statistik kemiskinan yang dipakai pemerintah.
Ini karena metodologi yang dipakai BPS, sebutnya, sudah ketinggalan zaman lantaran belum mengalami perubahan sejak 1998.
Meskipun pengukuran berbasis kebutuhan dasar atau cost of basic needs masih relevan, tapi dua komponen tersebut perlu diperiksa kembali, ungkap Yanu.
Apalagi Indonesia sudah masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas (upper-middle income).
“Jadi memang sudah saatnya diganti,” imbuhnya.
“Pengeluaran makanan dan non-makanan perlu ditinjau mengingat ada pergeseran pola konsumsi masyarakat yang terus berubah dan makin kompleks.”
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/foc.
“Sebaliknya, makin banyak pengeluaran individu untuk kebutuhan non-makanan dan makin mahal.”
Pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, sependapat.
Dia menilai angka pengeluaran di bawah Rp595.242 per kapita per bulan atau Rp20.000 per hari “sangat miris” bila dijadikan patokan garis kemiskinan saat ini.
Sebab, meskipun kenyataannya ada yang masih bisa bertahan hidup dengan nominal sebesar itu di pedesaan, tapi kemungkinan besar mereka akan mengandalkan bantuan orang lain atau akhirnya terjerat utang.
“Jadi kalau sekadar survive saja, orang Indonesia itu sangat mungkin bisa survive. Apalagi orang Indonesia tidak berekspektasi banyak terhadap negara, jadi mereka tidak akan mati meskipun dengan tingkat pengeluaran sedikit pun,” ujarnya.
Itu mengapa Andri menilai pemerintah harus memperbaiki metode penghitungan angka kemiskinan menjadi lebih realistis dengan pola konsumsi sekarang.
Ia mencontohkan pada 51 daftar komponen non-makanan, sudah semestinya ditambahkan pengeluaran pulsa telepon, internet, termasuk utang.
“Beberapa hal itu sama sekali tidak ada dalam garis kemiskinan konsumsi.”
Pemerintah revisi garis kemiskinan nasional?
Di tengah kencangnya kritik publik terhadap data kemiskinan yang dipegang pemerintah, Presiden Prabowo Subianto mengakui masih banyak warga miskin di Indonesia.
Karenanya, Prabowo menyebut, pemerintah berupaya membebaskan Indonesia dari kemiskinan sebelum 2045. Keyakinan itu muncul setelah dia mempelajari data-data secara keseluruhan.
“Setelah saya mempelajari angka-angka, saya optimis kita bisa hilangkan kemiskinan dari Republik Indonesia jauh sebelum 2045 itu keyakinan sana dan itu tekad saya,” kata Prabowo saat membuka acara Indonesia Defence 2025 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta.
“Tahun 2045 hanya 20 tahun lagi, anak anak muda sekarang tadi dikatakan teknokrat muda yang umurnya 30 tahun, maka 20 tahun lagi mereka yang akan pimpin Republik ini dan di situ lah kita bisa keluar dari kemiskinan untuk seluruh rakyat kita,” sambungnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.
Ia berkata, proses revisi ditargetkan rampung tahun ini.
Sebab, katanya, garis kemiskinan Indonesia sudah semakin mendekati batas kemiskinan ekstrem yang ditetapkan Bank Dunia.
Padahal, Indonesia sudah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah-atas.
Idealnya, menurut Arief, garis kemiskinan nasional berada di rentang Rp750.000 hingga Rp1,5 juta, jika mengacu pada garis kemiskinan lower-middle income dan upper-middle income.
Apa konsekuensi jika standar kemiskinan berubah?
Ekonom Muhammad Andri Perdana memprediksi standar angka kemiskinan nasional yang baru nanti “tidak akan jauh dari nominal sekarang” sekalipun pemerintah menggunakan metode atau rumus anyar.
Itu karena kenyataannya dengan nominal rupiah yang sedikit saja, orang miskin di Indonesia bisa bertahan hidup.
“Kalau kita lihat di desa, mereka sangat bisa bertahan dengan Rp20.000 per hari. Tapi kalau kita pakai kacamata kelas menengah, angka itu tidak masuk akal di zaman sekarang,” jelas Andri.
“Karena mereka tidak mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal, mereka banyak melakukan sustainable farming yang artinya dari segi pengeluaran tidak besar.”
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/bar
Selain itu, menurut dia, ada kekhawatiran jika standar angka garis kemiskinan naik, maka jumlah penduduk miskin ikut melonjak.
Hal tersebut sudah pasti memengaruhi prestasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
“Prestasi pemerintah jadi buruk karena gagal menurunkan angka kemiskinan.”
“Sikap itu bisa jadi membuat resistensi dalam memperbaiki garis kemiskinan yang lebih merefleksikan kenyataan saat ini.”
Padahal, kalau pemerintah memiliki data sahih soal kemiskinan di Indonesia, kebijakan yang diambil untuk menurunkan jumlah penduduk miskin bisa lebih terarah dan tepat sasaran.
Tidak melulu menggelontorkan bantuan tunai atau bantuan sosial tanpa melihat pangkal masalahnya.
“Pemerintah bisa mengintervensi harga bahan pokok jadi lebih murah, jika memang tak terjangkau kantong mereka.”
“Itu jauh lebih menyentuh akar masalah, ketimbang memberikan bantuan tunai tapi harga komoditas tetap tidak terjangkau.”
Bagaimana warga bertahan hidup?
Ahmad Marzuki, nelayan di Semarang, Jawa Tengah, tersentak begitu mendengar standar garis kemiskinan versi pemerintah adalah orang dengan pengeluaran di bawah Rp595.242 per kapita per bulan atau sekitar Rp20.000 per hari.
“Itu sebuah kejahatan namanya,” ujarnya kepada wartawan Kamal di Semarang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (17/06)
Sebagai nelayan tradisional, Marzuki punya penghasilan per bulan berkisar Rp2 juta sampai Rp2,5 juta—tergantung seberapa besar hasil tangkapannya.
Uang itu, habis setengahnya untuk membayar cicilan rumah.
Sisanya dipakai memenuhi kebutuhan melaut: bensin, alat tangkap, serta perawatan perahu.
Selebihnya untuk membayar air bersih, listrik, dan keperluan makan.
Sumber gambar, Kamal
“Air antara Rp50.000 sampai Rp60.000 per bulan. Listrik karena enggak dapat subsidi, sekitar Rp100.000-an per bulan.”
“Untuk keperluan perahu, solar satu kali perjalanan Rp20.000-an. Belum buat beli jaring, dan sekali penjedakan [penambalan perahu] Rp50.000.”
Soal kebutuhan makan, Marzuki dan istrinya sebisa mungkin berhemat. Biasanya, dia membeli beras per kilogram sebesar Rp15.000 untuk tiga hari. Lauknya, tentu saja diambil dari hasil melaut.
Kadang-kadang, katanya sambil menghela napas, dia ingin menyantap buah-buahan tapi urung lantaran uangnya tak cukup.
Bahkan buat sabun, sampo, odol, dia terpaksa membeli yang sudah mau kedaluwarsa karena harganya murah.
Keperluan lainnya, tentu saja pulsa telepon dan internet supaya bisa berkomunikasi dengan saudaranya.
“Jadi ada penjual di tempat pelelangan ikan itu memang jual [barang] yang sudah hampir kedaluwarsa dari gerai toko,” tutur Marzuki yang mengaku pernah menjadi korban banjir rob dan penggusuran ini.
Kalau berpijak pada standar Bank Dunia, Marzuki termasuk kategori kelompok menuju kelas menengah dengan pengeluaran Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan per kapita.
Adapun standar garis kemiskinan di Kota Semarang adalah jika rata-rata pengeluaran sebesar Rp671.936 per kapita per bulan, alias sedikit lebih besar dari rata-rata standar garis kemiskinan nasional.
Tapi, standar garis kemiskinan versi pemerintah itu ditolak mentah-mentah oleh Marzuki.
Meskipun penghasilannya di rentang Rp1 juta-Rp2 juta, namun hidupnya bisa dibilang melarat. Ia tak punya tabungan, tidak ada uang simpanan untuk biaya kesehatan bahkan buat hiburan.
“Saya ini belum punya anak, tapi kalau sudah punya tentu pengeluarannya lebih besar lagi. Sekolah dasar berapa sekarang biayanya, apalagi SMP.”
“Saya bisa menabung kalau hasil tangkapan banyak. Kalau sedikit, malah ngambil dari uang tabungan.”
“Utang saya cuma buat beli rumah, syukurnya tidak terjerat kredit macet, karena masih bisa bayar sesuai tempo. Masih tersisa enam tahun lalu.”
“Makanya kalau dibilang Rp20.000 itu sudah mampu, berarti pembodohan masyarakat.”
Wartawan Kamal di Semarang, Jawa Tengah, berkontribusi untuk laporan ini.
Leave a Reply