Sumber gambar, Getty Images
Belasan santriwati diduga menjadi korban pelecehan seksual di salah satu pesantren di Sumenep, Jawa Timur. Relasi kuasa dan doktrin agama membuat kekerasan seksual di lingkungan pesantren terus berulang, kata aktivis perempuan.
Sebanyak 13 perempuan mengaku mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pemilik sekaligus pengurus salah satu pondok pesantren di Pulau Kangean, Sumenep, Jawa Timur.
Kuasa hukum para korban, Salamet Riadi, mengatakan mereka mengalami kekerasan seksual saat menjadi santri di pesantren sekitar 2016-2024. Rata-rata para korban mengalami kekerasan lebih dari satu kali.
Pemimpin pesantren, Moh. Sahnan alias MS (51), ditangkap anggota Satreskrim Polres Sumenep pada Selasa (10/6), setelah melarikan diri ke wilayah Situbondo, Jawa Timur.
Dia dijerat pasal persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual fisik terhadap anak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dengan ancaman hukuman penjara 15 tahun hingga seumur hidup.
Bagaimana kasus dugaan kekerasan seksual ini terungkap?
Kuasa hukum korban, Salamet Riadi, mengungkapkan dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah santri oleh pemilik sekaligus pengurus pesantren ini sudah terjadi sejak 2016.
Namun, kasus ini baru terungkap setelah menjadi perbincangan di grup WhatsApp alumni pondok pesantren tersebut baru-baru ini.
Beberapa dari mereka memang telah lulus dari pesantren tersebut.
Percakapan tentang kekerasan seksual di pesantren di grup tersebut diketahui oleh orang tua korban yang langsung memeriksa kebenaran informasi tersebut kepada anaknya.
“Setelah diyakini kebenaran pengakuan anak-anak tersebut, orang tua menjadi berani untuk melapor ke APH (aparat penegak hukum),” kata Salamet kepada wartawan Ahmad Mustofa yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Korban bersama orang tuanya kemudian melapor ke Kepolisian Sektor (Polsek) Kangean pada 3 Juni 2025 silam yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kepolisian Resor (Polres) Sumenep.
Tersangka MS sempat melarikan diri, namun Polres Sumenep menangkap pemilik pesantren itu pada Selasa (10/06) dini hari di Situbondo, Jawa Timur.
Kasi Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti, bilang perbuatan MS sudah berlangsung sejak 2021 dengan 10 santri diduga menjadi korban, merujuk pada laporan polisi pada 3 Juni 2025.
Belakangan, semakin banyak santriwati mengaku menjadi korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pemimpin pesantren tersebut.
Akibat perbuatannya, MS dijerat dengan Pasal 81 ayat (3) (2) (1), 82 ayat (2) (1) UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 15 tahun penjara hingga seumur hidup.
Ancaman penjara seumur hidup tersebut sesuai Pasal 81 ayat 3 yang menerangkan bahwa jika pelaku merupakan sosok yang memiliki kuasa atas anak, seperti guru atau orang tua, ancaman pidananya adalah penjara seumur hidup.
Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Bagaimana modus kekerasan seksual terhadap santri?
Menurut Widiarti, pelaku menggunakan modus yang sama kepada semua korbannya saat melancarkan aksinya.
Widiarti menjelaskan, salah satu santriwati berinisial F diminta mengantarkan minuman ke kamar MS.
Di kamar itulah, tersangka kemudian melancarkan aksinya kepada F.
Hasil penyelidikan mengungkap bahwa perbuatan MS terhadap F tak hanya terjadi satu kali.
F bukan satu-satunya korban dugaan kekerasan seksual tersebut. Dengan modus yang sama, MS kembali melakukan aksinya terhadap santri-santri lain.
Sumber gambar, KOMPAS.com/Nur Khalis
Widiarti mengatakan para korban yang berstatus sebagai santri tidak berani melawan karena pelaku merupakan pengasuh pondok pesantren.
“Tersangka lalu menyuruh korban untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tentang kejadian itu,” kata Widiarti.
Kuasa hukum para korban, Salamet Riadi, mengungkapkan bahwa kekerasan seksual yang diduga dilakukan MS telah terjadi sejak 2016, dengan korban pertama berinisial R.
Adapun F, menurut klaim Salamet, mengalami kekerasan seksual pada 2021 silam.
Bagaimana kronologi versi para korban?
Kuasa hukum para korban, Salamet Riadi, mengungkapkan bahwa mereka diminta menghadap MS dengan dalih minta dibawakan minuman.
Merujuk kesaksian para korban, mereka diberi wejangan bahwa taat kepada guru adalah wajib.
Dengan doktrin itulah, pelaku melakukan aksinya, kata Salamet.
Dia juga melarang para korban untuk tidak mengungkap apa yang mereka alami kepada santri lainnya.
“Dibangun relasi ketakutan, jadi tidak berkuasa untuk menolak atau tidak menyampaikan ketidaksukaannya,” ungkap Salamet.
Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
“Karena memang diberikan sugesti bahwa guru ini adalah segala-galanya.”
Pada Jumat (13/06), empat korban telah dibawa ke rumah aman milik Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Sumenep.
Mereka menjalani proses asesmen untuk memberikan pendampingan dan meminimalisir dampak trauma yang dialami para korban.
“Supaya secara psikologis, korban tidak mengalami trauma berkepanjangan,” ujar Kepala Dinas P3A Sumenep, Mustangin, seperti dikutip dari Kompas.com.
“Dengan asesmen itu, kita dapat mengetahui sejauh mana tingkat trauma yang dialami korban. Diharapkan korban bisa bercerita sehingga solusinya ada.”
Apa tanggapan keluarga tersangka dan pihak pesantren?
Salah satu kerabat MS, Imam Raziqin, mengaku kaget kekerasan seksual terjadi di pesantren tersebut. Sebab, menurut pengamatannya, selama ini aktivitas di pesantren berjalan seperti biasanya.
“Saya ini baru tahu itu tiga hari sebelum teman-teman melaporkan itu, saya baru tahu, keluarga baru tahu,” kata Imam Raziqin, Senin (16/06).
Imam mengatakan, pihak pesantren akan melakukan langkah-langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang.
Dia menambahkan, untuk sementara para santri di pesantren tersebut dipulangkan ke rumahnya karena kebetulan bersamaan dengan libur sekolah.
“Tentu akan mengevaluasi beberapa kemungkinan-kemungkinan yang condong nantinya perilaku atau perbuatan-perbuatan seperti ini dapat terulang kembali,” katanya.
Imam juga mengatakan pesantren akan membentuk badan khusus untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan santri, termasuk melibatkan pengawasan eksternal, karena selama ini pengawasan secara mutlak dilakukan oleh pelaku sebagai pimpinan pesantren.
Sumber gambar, AFP via Getty Images
Mengapa kekerasan seksual di pesantren terus berulang?
Aktivis perempuan dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumenep, Nunung Fitriana, menyesalkan kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di pesantren.
Ini untuk ke sekian kalinya kekerasan seksual terhadap santri di lingkungan pondok pesantren terjadi.
Berikut ini sejumlah kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan pesantren yang terjadi baru-baru ini yang dikumpulkan BBC News Indonesia dari berbagai sumber:
- Pengasuh pondok pesantren di Rembang, Jawa Timur, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan santrinya sendiri pada Mei 2025.
- Satuan Reskrim Polres Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, menahan AF, ketua yayasan sebuah pesantren di Lombok Barat dengan korban lebih dari 20 santri pada April 2025.
- Pria berinisial AIA yang bertugas sebagai pembina kamar di sebuah pesantren di Tulungagung, Jawa Timur ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pencabulan terhadap 12 santri laki-laki pada April 2025.
- Pengurus pesantren di Trenggalek, Jawa Timur, dan putranya ditetapkan sebagai tersangka pencabulan belasan santri selama rentang waktu 2021-2024 pada Maret 2025.
- Polres Jakarta Timur menetapkan guru dan pemilik pesantren di Duren Sawit sebagai tersangka dalam kasus pencabulan lima santri pada Januari 2025.
- Pimpinan pondok pesantren di Cikande, Serang, Banten, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencabulan dan pelecehan terhadap tiga santrinya pada Desember 2024.
- Pengasuh pesantren di Muara Enim, Sumatra Selatan ditangkap polisi karena diduga melakukan pencabulan terhadap santriwati, pada Desember 2024.
Sumber gambar, LightRocket via Getty Images
Menurut Nunung, kekerasan seksual di pesantren terus berulang karena relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban.
Apalagi, pelaku merupakan tokoh sentral di pesantren.
“Murid itu ketika masuk pesantren, dia sudah langsung mengatakan saya ini bawahan. Maksudnya posisi saya itu sudah di bawah guru saya,” kata Nunung, Sabtu (14/06).
Doktrin agama yang mewajibkan murid untuk patuh kepada guru juga membuat korban kekerasan seksual cenderung tidak berani melapor.
“Kalau melapor berarti menyakiti guru, kalau menyakiti guru takut tidak dapat berkah,” kata Nunung.
Dalam pesantren, budaya dan agama berperan penting dalam membentuk norma dan nilai. Sebagai lembaga pendidikan agama, pesantren memiliki sistem nilai yang kuat yang dapat memengaruhi pandangan dan respons terhadap kekerasan seksual.
Namun, norma ini bisa menjadi “pedang bermata dua”. Pada satu sisi dapat melindungi korban, di sisi lain dapat menekan mereka untuk tetap diam.
Para korban sering merasa tidak berdaya atau tidak memiliki wewenang untuk melawan pelaku yang posisinya lebih senior atau memiliki kekuasaan.
Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung bagi korban untuk mencari keadilan atau pertolongan.
Situasi ini juga menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperbaiki mekanisme perlindungan dan pelaporan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.
Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Nunung mendorong Kementerian Agama (Kemenag) untuk mengambil langkah tegas agar kasus kekerasan seksual di pesantren tidak terus berulang.
Ia meminta kepada Kemenag setempat untuk tegas menindak pesantren tempat kekerasan seksual terjadi.
“Kalau bisa enggak usah dikasih izin lagi,” katanya.
Pencabutan izin dianggap langkah yang tepat karena pelaku merupakan pimpinan pesantren.
Jika dibiarkan tetap beroperasi, menurut Nunung, bisa semakin “berbahaya”.
Sumber gambar, Ahmad Mustofa
Akan tetapi, Imam Raziqin, kerabat MS yang sempat menjadi pengurus di pesantren tersebut, tidak sepakat dengan dorongan aktivis agar izin pesantren dicabut hanya karena ulah satu oknum.
Pihak keluarga telah bersepakat untuk tetap menjaga eksistensi pesantren demi melanjutkan keberlangsungan pendidikan di sana, menurut Imam.
“Jangan lantas satu orang yang melakukan hal tidak baik, malah tempatnya yang dapat. Tapi saya tetap tidak mentolerir perilaku ini,” katanya.
Terkait adanya doktrin agama yang mewajibkan santri patuh atau takzim kepada pimpinan pesantren, ia tak menampik bahwa dalam beberapa kasus hal ini dimanfaatkan atau dijadikan peluang oleh oknum untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
“Pesantren di mana pun, ketakziman tetap diutamakan. Tapi dalam kurung pelaku atau oknum tersebut atau oknum tertentu ketakziman ini dijadikan peluang. Ini juga harus kami evaluasi ketakziman dalam apa, konteks bagaimana, keadaan bagaimana yang kemudian menjadi hal yang wajar dan tidak wajar,” jelasnya.
Nunung juga mendesak kepolisian lebih cepat dalam menangani kasus kekerasan seksual karena sudah ada unit khusus yang terpisah dari kasus kriminal lain.
Mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini juga mendorong agar kasus kekerasan seksual tidak diselesaikan melalui restorative justice (RJ).
Ia mendapati beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sumenep justru menempuh opsi damai.
“Saya tidak merekomendasikan kekerasan seksual itu untuk RJ, pasti merugikan korban,” kata Nunung.
Yang tidak kalah penting, menurut Nunung, adanya sosialisasi tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual, sehingga tidak terjadi normalisasi.
“Kalau masyarakat enggak ngerti kan dinormalisasi,” jelas Nunung.
Bagaimana pengawasan Kemenag?
Kementerian Agama sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Di dalamnya, diatur tentang definisi, bentuk, pencegahan hingga sanksi kekerasan seksual di lingkup pendidikan keagamaan.
Kemenag menerbitkan peraturan itu pada awal Oktober 2022 sebagai respons atas terungkapnya kasus pemerkosaan pimpinan sebuah pondok pesantren di Bandung, Herry Wirawan kepada 13 santriwatinya.
Kepala Kemenag Kabupaten Sumenep, Abdul Wasid, berjanji akan melakukan investigasi menyeluruh terkait kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan pesantren tersebut.
Sumber gambar, TIMUR MATAHARI/AFP via Getty Images
Namun, Wasid belum bisa bicara lebih jauh terkait sanksi yang akan diberikan terhadap pesantren yang dipimpin MS.
“Kita lihat santrinya bagaimana, kondisi pondoknya bagaimana, baru kita lakukan evaluasi lebih lanjut sesuai dengan aturan yang ada,” kata Wasid.
Disinggung terkait pengawasan, Wasid mengakui bahwa Kemenag tidak bisa terlalu intens sebab setiap pondok pesantren memiliki aturan tersendiri.
Pengawasan, kata Wasid, menjadi tanggung jawab pimpinan pesantren.
“Kita itu paling hadir ke pondok menanyakan beberapa hal. Bagaimana kita melakukan pengawasan 24 jam ke pondok, itu sudah ada pimpinannya kan?” dalih Wasid.
Sumber gambar, CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP via Getty Images
Dia tak menjelaskan lebih lanjut bagaimana pengawasan ditegakkan jika pimpinan pesantren yang melakukan pengawasan, justru menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap santri.
Untuk memberikan rasa aman kepada anak yang bermukim di pesantren, kata Wasid, pihaknya akan menggalakkan kembali pesantren ramah anak dengan menggandeng sejumlah lembaga terkait dan organisasi masyarakat.
“Kita itu terus melakukan sosialisasi tentang penguatan pesantren ramah anak ke beberapa pondok pesantren dan beberapa pengurus pesantren,” katanya.
Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 91 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak yang diterbitkan awal tahun ini, diatur pengembangan kompetensi ideal ustadz dan ustadzah di pesantren, baik pada aspek kepribadian, sosial, pedagogik, maupun profesional.
Direktur Pesantren di Kementerian Agama, Basnang Said, mengatakan peta jalan ini dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi pengasuh dan pendiri pesantren, pimpinan pesantren, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan serta Kementerian Agama untuk mengembangkan pesantren yang ramah anak dengan memberikan pelindungan dan memenuhi hak santri anak.
Reportase oleh wartawan di Jawa Timur, Ahmad Mustofa
Leave a Reply Cancel reply