Category: Blogs

  • Polish Rail-Sector Companies at the Forefront of Technology – Indonesia Expat

    Polish Rail-Sector Companies at the Forefront of Technology – Indonesia Expat

    The value of Polish rolling-stock exports reached USD 1.55 billion in 2022—an increase of more than 120 % over the past decade. Three domestic manufacturers continue to lead the market: PESA Bydgoszcz, NEWAG Nowy Sącz, and H. Cegielski – Fabryka Pojazdów Szynowych (FPS) in Poznań. Their position is reinforced by a fast-growing R&D base and long-term state investment programmes in rail infrastructure.

    PESA – Europe’s Hydrogen-Traction Pioneer

    Bydgoszcz-based PESA was the first company in Europe to obtain homologation for a hydrogen-powered locomotive—the SM42-6Dn. In 2024, the firm signed a letter of intent with Swedish operators Väte Rail and Hankavik to place the locomotives in service; the first unit is scheduled to run on Scandinavian tracks in 2027–2028. Equipped with two 85 kW fuel-cell stacks and a 175 kg hydrogen tank, the locomotive is completely emission-free and can be refuelled in just 30 minutes. PESA is simultaneously developing the 2H, a hybrid locomotive that can draw power both from H₂ fuel cells and from overhead catenary lines.

    Export momentum is strong: after delivering DMUs to Ghana in 2024 and winning multi-million-euro contracts from RegioJet and Romanian Railways, PESA’s 2024 revenue rose by roughly 33 % year on year.

    NEWAG – Faster, Smarter, More Open

    Nowy Sącz-based NEWAG is breaking new ground in the high-speed segment. In October 2023 its multi-system Griffin EU200 locomotive reached 240 km/h on Poland’s Central Main Line—a national speed record for rail traction. Certified for 200 km/h, the series is approved for operation in six countries, and PKP Intercity will have received a total of 96 EU160/EU200 units by the end of 2025.

    Domestic and foreign orders—including 29 hybrid Impuls 2 EMUs for the Pomeranian region—represent 77 % of the total value of rolling-stock contracts awarded in Poland over the last 18 months.

    FPS – Passenger Comfort and Next-Generation Quality Certification

    Poznań-based H. Cegielski – FPS won PKP Intercity’s record tender for 300 new passenger coaches, with an option for 150 more. Family compartments, CCTV, Wi-Fi and wireless charging will raise travel comfort, while the cars are prepared for 200 km/h operation. FPS is also among the first manufacturers worldwide to hold the ISO 22163:2023 quality certificate (successor to IRIS), confirming compliance with the highest process standards in the rail industry.

    Growing environmental awareness, rising demand for public transport and global rail-modernisation programmes create favourable conditions for Polish suppliers. Emission-free hydrogen traction, dual-mode hybrid locomotives, open-architecture train software and coaches certified for 200 km/h align with cutting-edge trends showcased at trade fairs such as InnoTrans and TRAKO. Technologies once associated solely with giants like Siemens, Alstom or Stadler are now being advanced by Poland’s largest enterprises: PESA, NEWAG and FPS are full-fledged partners—and in some cases trailblazers—for these multinationals.

    The Polish rail sector is far more than complete passenger-train builders. Modertrans, Polski Tabor Szynowy-Wagon, Tistram, Darpol, Fanina and many other companies form a long list of firms with substantial export potential.

    Outlook

    Domestic plans for 2,000 km of new high-speed lines and an export offensive in Africa, Asia and Scandinavia are turning the rail sector into one of Poland’s most technologically advanced industries. If the current pace of investment and innovation continues, Poland will remain among the world’s leading producers of advanced rolling stock—proving that “Made in Poland” can be synonymous with top quality and the green transformation of rail.



    Fonte

  • Giant ash plume rises from Indonesia’s Mount Lewotobi Laki-Laki volcano – video | Bali

    Mount Lewotobi Laki-Laki volcano in eastern Indonesia erupted on Tuesday, sending towering columns of hot ash into the air and spewing an ash cloud 10km high, the country’s volcanology agency said. Indonesian officials raised volcano alerts to their highest level after the eruption, while some flights between Bali and Australia were cancelled. Mount Lewotobi Laki-Laki erupted several times in November, killing nine people and forcing thousands to evacuate

    Fonte

  • Last-mile delivery startup Blitz Electric trims workforce

    The EV-powered Indonesian delivery startup says the layoffs are part of a long-term play for sustainable growth. Here’s what we know so far.

    Fonte

  • Garis kemiskinan versi Bank Dunia dan pemerintah Indonesia, mana yang lebih realistis?

    Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar

    Keterangan gambar, Warga menyisir rambut anaknya di kawasan permukiman kumuh di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (10/6/2025).

    Perhitungan garis kemiskinan versi Bank Dunia diprediksi meningkatkan angka kemiskinan Indonesia menjadi 194,6 juta jiwa, jauh di atas 24,06 juta jiwa merujuk data September 2024. Standar baru ini mengklasifikasikan jutaan orang ke kelompok miskin, yang tidak dikategorikan miskin jika menggunakan perhitungan pemerintah Indonesia.

    Sejumlah pakar menyebut standar garis kemiskinan nasional yang dipakai pemerintah Indonesia saat ini “sangat tidak merefleksikan kenyataan” lantaran adanya pergeseran pola konsumsi dan makin beragamnya kebutuhan masyarakat.

    Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengategorikan orang miskin jika memiliki pengeluaran di bawah Rp595.242 per kapita per bulan atau sekitar Rp20.000 per hari.

    Angka itu, menurut pakar, “sangat miris” sebab meskipun kelompok masyarakat itu masih bisa hidup tapi kemungkinan besar mengandalkan bantuan orang lain atau akhirnya terjerat utang.

    “Kalau sekadar survive saja, orang Indonesia itu sangat mungkin bisa survive. Apalagi orang Indonesia tidak berekspektasi banyak terhadap negara, jadi mereka tidak akan mati meskipun dengan tingkat pengeluaran sedikit pun,” ujar ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana.

    Salah satu warga kelas bawah di Kota Semarang, Jawa Tengah, Ahmad Marzuki, menyebut standar garis kemiskinan versi pemerintah tidak manusiawi.

    Menurut Ahmad, uang Rp20.000 bakal habis untuk membeli satu kilogram beras. Tak ada sisa untuk belanja lauk, sayur, apalagi buah.

    “Jika negara menyebut, orang yang mampu memenuhi kebutuhan harian di angka Rp20.000 sebagai orang mampu [tidak dikategorikan miskin] itu sebuah kejahatan,” ungkapnya.

    Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/foc.

    Keterangan gambar, Seorang anak menaiki ayunan kain di kawasan permukiman kumuh di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (10/6/2025).

    Perdebatan seputar standar garis kemiskinan nasional di Indonesia mengemuka setelah Bank Dunia mengeluarkan laporan soal “Poverty and Inequality Platform” edisi Juni 2025.

    Di situ, Bank Dunia telah mengganti acuan garis kemiskinan global dari paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) 2017 ke PPP 2021. Akibat pembaruan tersebut, ambang batas garis kemiskinan meningkat di semua kategori negara.

    Garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income) berubah dari yang sebelumnya US$3,65 menjadi US$4,20 per hari.

    Begitu juga dengan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income) seperti Indonesia. Batasnya berubah dari US$6,85 menjadi US$8,40 per hari.

    Nilai US$1 PPP setara dengan Rp5.993.

    PPP adalah konsep dasar dengan membandingkan harga sekumpulan barang dan jasa yang sama di berbagai negara.

    Harga ini kemudian dikonversi ke dalam mata uang yang sama, seperti dollar AS, untuk memudahkan perbandingan.

    Kalau memakai standar garis kemiskinan Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia dengan pengeluaran di bawah Rp49.244 per hari mencapai 68,2% dari total populasi yang pada 2024 sebanyak 285,1 juta orang.

    Itu artinya, 194,4 juta warga Indonesia masuk dalam kategori miskin.

    Standar garis kemiskinan versi Bank Dunia itu berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).

    Pada September 2024, BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 24,06 juta orang atau 8,57%.

    Mengapa standar garis kemiskinan BPS dan Bank Dunia berbeda?

    Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan Bank Dunia menghitung angka kemiskinan Indonesia berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah-atas, bukan berdasarkan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.

    Untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, BPS memakai pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs yang terdiri dari dua komponen: makanan dan non-makanan.

    Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, yang mencakup berbagai komoditas seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, termasuk rokok kretek filter.

    Baca juga:

    Sedangkan komponen non-makanan terdiri dari kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

    Penghitungan angka garis kemiskinan di tiap-tiap wilayah, kata BPS, baik provinsi maupun kabupaten/kota berbeda-beda.

    Namun, standar garis kemiskinan nasional ditetapkan senilai Rp595.242 per kapita per bulan atau Rp20.000 per hari.

    Jauhnya perbedaan standar garis kemiskinan antara Bank Dunia dan BPS ini memicu pertanyaan di antara warganet: manakah yang lebih realistis?

    Mana yang lebih realistis, perhitungan Bank Dunia atau BPS?

    Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, mengatakan standar garis kemiskinan BPS memang jauh mencerminkan realitas saat ini, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada data statistik kemiskinan yang dipakai pemerintah.

    Ini karena metodologi yang dipakai BPS, sebutnya, sudah ketinggalan zaman lantaran belum mengalami perubahan sejak 1998.

    Meskipun pengukuran berbasis kebutuhan dasar atau cost of basic needs masih relevan, tapi dua komponen tersebut perlu diperiksa kembali, ungkap Yanu.

    Apalagi Indonesia sudah masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas (upper-middle income).

    “Jadi memang sudah saatnya diganti,” imbuhnya.

    “Pengeluaran makanan dan non-makanan perlu ditinjau mengingat ada pergeseran pola konsumsi masyarakat yang terus berubah dan makin kompleks.”

    Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/foc.

    Keterangan gambar, Warga berjalan di dekat permukiman kumuh di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (10/6/2025).

    “Sebaliknya, makin banyak pengeluaran individu untuk kebutuhan non-makanan dan makin mahal.”

    Pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, sependapat.

    Dia menilai angka pengeluaran di bawah Rp595.242 per kapita per bulan atau Rp20.000 per hari “sangat miris” bila dijadikan patokan garis kemiskinan saat ini.

    Sebab, meskipun kenyataannya ada yang masih bisa bertahan hidup dengan nominal sebesar itu di pedesaan, tapi kemungkinan besar mereka akan mengandalkan bantuan orang lain atau akhirnya terjerat utang.

    Baca juga:

    “Jadi kalau sekadar survive saja, orang Indonesia itu sangat mungkin bisa survive. Apalagi orang Indonesia tidak berekspektasi banyak terhadap negara, jadi mereka tidak akan mati meskipun dengan tingkat pengeluaran sedikit pun,” ujarnya.

    Itu mengapa Andri menilai pemerintah harus memperbaiki metode penghitungan angka kemiskinan menjadi lebih realistis dengan pola konsumsi sekarang.

    Ia mencontohkan pada 51 daftar komponen non-makanan, sudah semestinya ditambahkan pengeluaran pulsa telepon, internet, termasuk utang.

    “Beberapa hal itu sama sekali tidak ada dalam garis kemiskinan konsumsi.”

    Pemerintah revisi garis kemiskinan nasional?

    Di tengah kencangnya kritik publik terhadap data kemiskinan yang dipegang pemerintah, Presiden Prabowo Subianto mengakui masih banyak warga miskin di Indonesia.

    Karenanya, Prabowo menyebut, pemerintah berupaya membebaskan Indonesia dari kemiskinan sebelum 2045. Keyakinan itu muncul setelah dia mempelajari data-data secara keseluruhan.

    “Setelah saya mempelajari angka-angka, saya optimis kita bisa hilangkan kemiskinan dari Republik Indonesia jauh sebelum 2045 itu keyakinan sana dan itu tekad saya,” kata Prabowo saat membuka acara Indonesia Defence 2025 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta.

    “Tahun 2045 hanya 20 tahun lagi, anak anak muda sekarang tadi dikatakan teknokrat muda yang umurnya 30 tahun, maka 20 tahun lagi mereka yang akan pimpin Republik ini dan di situ lah kita bisa keluar dari kemiskinan untuk seluruh rakyat kita,” sambungnya.

    Sumber gambar, ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

    Keterangan gambar, Presiden Prabowo Subianto (kanan) menyampaikan sambutan disaksikan Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) saat jamuan makan malam di Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/5/2025).

    Ia berkata, proses revisi ditargetkan rampung tahun ini.

    Sebab, katanya, garis kemiskinan Indonesia sudah semakin mendekati batas kemiskinan ekstrem yang ditetapkan Bank Dunia.

    Padahal, Indonesia sudah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah-atas.

    Idealnya, menurut Arief, garis kemiskinan nasional berada di rentang Rp750.000 hingga Rp1,5 juta, jika mengacu pada garis kemiskinan lower-middle income dan upper-middle income.

    Apa konsekuensi jika standar kemiskinan berubah?

    Ekonom Muhammad Andri Perdana memprediksi standar angka kemiskinan nasional yang baru nanti “tidak akan jauh dari nominal sekarang” sekalipun pemerintah menggunakan metode atau rumus anyar.

    Itu karena kenyataannya dengan nominal rupiah yang sedikit saja, orang miskin di Indonesia bisa bertahan hidup.

    “Kalau kita lihat di desa, mereka sangat bisa bertahan dengan Rp20.000 per hari. Tapi kalau kita pakai kacamata kelas menengah, angka itu tidak masuk akal di zaman sekarang,” jelas Andri.

    “Karena mereka tidak mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal, mereka banyak melakukan sustainable farming yang artinya dari segi pengeluaran tidak besar.”

    Sumber gambar, ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/bar

    Keterangan gambar, Warga penerima manfaat mengambil bantuan beras di Kelurahan Semampir, Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (12/6/2025). Pemerintah daerah setempat menyalurkan bantuan beras kepada 1.211 kepala keluarga yang masuk pada keluarga miskin ekstrem berdasarkan data penyasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem (P3KE) masing-masing sebanyak 5 kilogram beras per bulan.

    Selain itu, menurut dia, ada kekhawatiran jika standar angka garis kemiskinan naik, maka jumlah penduduk miskin ikut melonjak.

    Hal tersebut sudah pasti memengaruhi prestasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

    “Prestasi pemerintah jadi buruk karena gagal menurunkan angka kemiskinan.”

    “Sikap itu bisa jadi membuat resistensi dalam memperbaiki garis kemiskinan yang lebih merefleksikan kenyataan saat ini.”

    Baca juga:

    Padahal, kalau pemerintah memiliki data sahih soal kemiskinan di Indonesia, kebijakan yang diambil untuk menurunkan jumlah penduduk miskin bisa lebih terarah dan tepat sasaran.

    Tidak melulu menggelontorkan bantuan tunai atau bantuan sosial tanpa melihat pangkal masalahnya.

    “Pemerintah bisa mengintervensi harga bahan pokok jadi lebih murah, jika memang tak terjangkau kantong mereka.”

    “Itu jauh lebih menyentuh akar masalah, ketimbang memberikan bantuan tunai tapi harga komoditas tetap tidak terjangkau.”

    Bagaimana warga bertahan hidup?

    Ahmad Marzuki, nelayan di Semarang, Jawa Tengah, tersentak begitu mendengar standar garis kemiskinan versi pemerintah adalah orang dengan pengeluaran di bawah Rp595.242 per kapita per bulan atau sekitar Rp20.000 per hari.

    “Itu sebuah kejahatan namanya,” ujarnya kepada wartawan Kamal di Semarang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (17/06)

    Sebagai nelayan tradisional, Marzuki punya penghasilan per bulan berkisar Rp2 juta sampai Rp2,5 juta—tergantung seberapa besar hasil tangkapannya.

    Uang itu, habis setengahnya untuk membayar cicilan rumah.

    Sisanya dipakai memenuhi kebutuhan melaut: bensin, alat tangkap, serta perawatan perahu.

    Selebihnya untuk membayar air bersih, listrik, dan keperluan makan.

    Sumber gambar, Kamal

    Keterangan gambar, Ahmad Marzuki, nelayan di Kota Semarang, Jawa Tengah, bilang pengeluaran di bawah Rp20.000 sudah tidak manusiawi.

    “Air antara Rp50.000 sampai Rp60.000 per bulan. Listrik karena enggak dapat subsidi, sekitar Rp100.000-an per bulan.”

    “Untuk keperluan perahu, solar satu kali perjalanan Rp20.000-an. Belum buat beli jaring, dan sekali penjedakan [penambalan perahu] Rp50.000.”

    Soal kebutuhan makan, Marzuki dan istrinya sebisa mungkin berhemat. Biasanya, dia membeli beras per kilogram sebesar Rp15.000 untuk tiga hari. Lauknya, tentu saja diambil dari hasil melaut.

    Kadang-kadang, katanya sambil menghela napas, dia ingin menyantap buah-buahan tapi urung lantaran uangnya tak cukup.

    Bahkan buat sabun, sampo, odol, dia terpaksa membeli yang sudah mau kedaluwarsa karena harganya murah.

    Keperluan lainnya, tentu saja pulsa telepon dan internet supaya bisa berkomunikasi dengan saudaranya.

    “Jadi ada penjual di tempat pelelangan ikan itu memang jual [barang] yang sudah hampir kedaluwarsa dari gerai toko,” tutur Marzuki yang mengaku pernah menjadi korban banjir rob dan penggusuran ini.

    Baca juga:

    Kalau berpijak pada standar Bank Dunia, Marzuki termasuk kategori kelompok menuju kelas menengah dengan pengeluaran Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan per kapita.

    Adapun standar garis kemiskinan di Kota Semarang adalah jika rata-rata pengeluaran sebesar Rp671.936 per kapita per bulan, alias sedikit lebih besar dari rata-rata standar garis kemiskinan nasional.

    Tapi, standar garis kemiskinan versi pemerintah itu ditolak mentah-mentah oleh Marzuki.

    Meskipun penghasilannya di rentang Rp1 juta-Rp2 juta, namun hidupnya bisa dibilang melarat. Ia tak punya tabungan, tidak ada uang simpanan untuk biaya kesehatan bahkan buat hiburan.

    “Saya ini belum punya anak, tapi kalau sudah punya tentu pengeluarannya lebih besar lagi. Sekolah dasar berapa sekarang biayanya, apalagi SMP.”

    “Saya bisa menabung kalau hasil tangkapan banyak. Kalau sedikit, malah ngambil dari uang tabungan.”

    “Utang saya cuma buat beli rumah, syukurnya tidak terjerat kredit macet, karena masih bisa bayar sesuai tempo. Masih tersisa enam tahun lalu.”

    “Makanya kalau dibilang Rp20.000 itu sudah mampu, berarti pembodohan masyarakat.”

    Wartawan Kamal di Semarang, Jawa Tengah, berkontribusi untuk laporan ini.

    Fonte

  • Bangkok Post – A waterway of life is turning deadly

    An aerial photo shows the Kok River turning murky with chemical contamination as it meanders through the upper North. (Photo: Pollution Control Department)

    The Kok River, once a lifeline for communities across northern Thailand, is facing an environmental catastrophe.

    Originating in Myanmar, the river is now heavily contaminated with toxic substances believed to come from mining operations in the upstream Wa-controlled territory — a politically sensitive area with which the Thai state has yet to establish any formal dialogue.

    The river, once clear and pristine, now runs red and murky. The dramatic change has frightened local residents in both Chiang Mai and Chiang Rai, who now avoid using the water out of fear of chemical poisoning. Freshwater fishers have reported mass infections and wounds on fish, rendering them unsafe for consumption.

    Livelihoods and local tourism — particularly in Chiang Rai — have taken a major hit, as residents are warned against bathing, fishing, or even allowing animals to enter the river.

    Geographic and environmental impact

    The Kok River enters Thailand at Mae Ai district in Chiang Mai before flowing through neighbouring Chiang Rai and merging with the Mekong River in Chiang Saen district — a total length of about 180 kilometres inside Thai territory.

    Recent water tests revealed that levels of arsenic — a toxic heavy metal — exceed Thailand’s legal limit of 0.010 mg/L at all 15 test points along the river and its tributaries. Arsenic contamination has also been detected in the Sai and Mekong rivers.

    On June 10, the Pollution Control Department (PCD) posted results from its fourth round of water sampling (conducted May 26–30), showing consistent arsenic contamination at all monitored locations. Testing included sediment and water quality at 15 sites along the Kok River and its tributaries — including the Fang, Lao, Korn, Suai, and Sai rivers — as well as two sites on the Mekong.

    Abnormally high turbidity and arsenic levels were found near the Myanmar border, strongly suggesting contamination from upstream mining activity. Arsenic detected in the Mekong River may originate from tributaries like the Sai and Ruak rivers. Further testing is needed to determine whether contamination also comes from Lao territory. The onset of the rainy season and the opening of the Chiang Rai dam gates increased sediment flow, stirring up contaminated deposits and possibly spreading arsenic further downstream.

    Health warnings and community risk

    Somporn Phengkham, director of the Community Health Impact Assessment Platform (CHIA), confirmed elevated arsenic levels throughout the Kok River. Although arsenic concentration appears to be decreasing near the headwaters in tambon Tha Ton, it is increasing midstream, likely due to sediment release from the Chiang Rai weir.

    She emphasised the urgent need for more frequent testing of tap and village water supplies, assessment and treatment of agricultural water sources, and the immediate testing of shallow wells, which are prevalent among riverside communities and vulnerable to contamination through soil infiltration.

    Ms Somporn urged authorities to distribute DIY test kits so villagers can detect heavy metal contamination themselves.

    “Even if levels are only slightly above the legal limit, daily exposure leads to chronic accumulation in the human body. Today, it may seem harmless, but over time, it becomes a long-term health threat,” she warned.

    A transboundary crisis

    Lalita Harnwong, a historian at Kasetsart University and an expert on Myanmar’s ethnic minorities, labelled the situation a “five-star national security issue”. She drew parallels to the ongoing scam centre crisis along the border, which remains unresolved despite government interventions.

    She called for government transparency, acknowledging the Kok River pollution as a critical security threat. The historian also said there must be urgent diplomatic engagement with the United Wa State Army (UWSA), the de facto authority in the contaminated upstream region.

    “Negotiations can happen, but Thailand must send a clear message to Naypyidaw that it intends to address this as a matter of national security.

    “While villagers suffer chronic poisoning, we can’t keep hiding behind the notion that the Wa aren’t a state. This logic must be dismantled,” Ms Lalita asserted.

    Government inaction and suppression of information

    Senator Angkhana Neelapaijit, chair of the Senate Committee on Political Development, visited the area with civil society members. She expressed shock that provincial authorities had known about the arsenic contamination but were allegedly asked by higher-ups to suppress the information.

    “The most vulnerable — children — are being exposed daily. If elephants have developed boils after bathing in the Kok River, what about the children playing in the water?” she asked, calling for the government to leverage Asean regional mechanisms and its ties with China, which has financial stakes in the mining industry.

    Tourism devastated, livelihoods lost

    Sriton Kamphaeng, manager of the Karen Ruammit Elephant Camp — an international tourist destination — shared that his business has suffered immensely.

    “Tour boats can’t operate. Elephants can’t drink or bathe in the river. We had to lay a four-kilometre pipeline from a mountain spring just to get clean water,” he said. Back in February, when the river had already turned murky, mahouts unknowingly led elephants into the water. “The elephants developed rashes and pus-filled sores on their skin,” Mr Sriton recalled grimly.

    Provincial government’s limited power

    Chiang Rai governor Charin Thongsuk acknowledged the gravity of the situation, stating that he, too, is a victim — as he uses the same water sources as residents. He said that while the root cause is in another country, Chiang Rai has no jurisdiction to intervene upstream.

    Two immediate actions have been taken: confirming the safety of tap water, which currently remains below arsenic thresholds; and requesting the Department of Environmental Quality to continue monitoring water trends.

    A long-term solution may involve building more sediment retention dams, as recommended by the Pollution Control Department.

    “The best outcome would be clean water entering from Myanmar, but until then, we must minimise arsenic entering our territory.

    “While residents are advised to avoid river contact, the tap water is still considered safe. We are doing what we can within our limited powers,” Mr Charin concluded.

    Fonte